pcpmiimojokerto.com

PK PMII KH. Abdul Chalim Soroti Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Lewat Seminar Edukatif

PC/PMIIMOJOKERTO – Untuk mencegah maraknya kasus kekerasan seksual, Pengurus Komisariat (PK) PMII KH. Abdul Chalim mengadakan seminar bertema pencegahan kekerasan seksual yang diselenggarakan di Universitas KH. Abdul Chalim (UAC) pada Rabu, 21 Mei 2025.

Kegiatan seminar ini turut melibatkan seluruh organisasi mahasiswa (UAC), baik dari lingkup internal maupun eksternal kampus. Acara ini menghadirkan narasumber kompeten, yakni Kanit PPA Satreskrim Polres Mojokerto, Iptu A. Muthoin, S.H., serta Riza Wahyuni, S.Psi., M.Si., dari layanan Psikologi Geofira. Seminar ini mengusung tema “Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi: Upaya Pencegahan dan Penanganannya.”

Saiful Efendi, selaku Ketua Komisariat PMII KH. Abdul Chalim, menyampaikan bahwa seminar ini merupakan langkah awal yang diambil sebagai respons atas keresahan kolektif. Menurutnya, terdapat sejumlah kasus kekerasan seksual yang terus berulang dan cenderung membudaya setiap tahunnya, sehingga perlu disikapi secara serius melalui edukasi dan pencegahan.

“Pertahun 2024 itu bisa dibilang sangat signifikan jumlahnya artinya akan bertambah, kalau dari pihak kampus merespon sangat privat dikhawatirkan mahasiswa tidak terkampanyekan ketakutan tentang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS),” ujar Saiful, (21/25).

Saiful juga menambahkan bahwa kegiatan ini sekaligus menjadi bentuk dorongan kepada Kapolres Mojokerto untuk lebih aktif mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), serta Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.

“Kampus UAC yang merupakan salah satu kampus terbesar di Mojokerto ini yang kemudian hal seperti tidak disosialisasikan secara tidak langsung Kapolres Mojokerto tidak amanah,” imbuhnya.

Lebih lanjut, ia berharap setiap mahasiswa memiliki keberanian dan kesadaran hukum untuk menempuh jalur hukum secara mandiri ketika menghadapi kasus kekerasan seksual, tanpa harus bergantung sepenuhnya pada Satgas TPKS atau pihak-pihak berwenang lainnya.

“Kami juga mengambil dari aspek psikologi agar kiranya mahasiswa bisa di edukasi tentang TPKS mana verbal dan non verbal sebagai bahan paling mendasar bagi kita untuk menghindari hal hal yang rentan terutama TPKS,” terangnya.

Kendati demikian, ia juga menambahkan bahwa PMII, khususnya melalui Korps PMII Putri (Kopri), telah membentuk sebuah forum bernama Ruang Aman yang berfokus pada penanganan kasus kekerasan seksual serta menjadi wadah pendampingan bagi korban di lingkungan kampus.

Selanjutnya, Iptu A. Muthoin dalam wawancara terpisah menyampaikan bahwa dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual, Unit PPA bekerja sama dengan psikolog serta berbagai instansi terkait. Kolaborasi ini dilakukan agar korban merasa didukung, tidak takut, dan berani untuk melapor demi memperoleh keadilan.

“Alhamdulillah sampai saat ini belum ada terkait KS dikalangan mahasiswa khusus nya di wilayah Kabupaten Mojokerto,” ujarnya (21/25).

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pihaknya tidak hanya menjalin kerja sama dengan pihak kampus, tetapi juga dengan sekolah-sekolah dan instansi terkait lainnya. Bentuk kerja sama tersebut dilakukan melalui kegiatan berbagi pengetahuan (sharing), pelatihan, serta sosialisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pencegahan terhadap kekerasan seksual di berbagai lingkungan pendidikan.

“Kita memberikan keyakinan bahwa apa yang ia laporkan rahasianya tetap terjaga biar dia berani Rise and Speak,” tandasnya.

Terpisah, Riza Wahyuni dari Layanan Psikologi Geofira menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual sering mengalami dampak psikologis serius, seperti Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan depresi. Bahkan, dalam beberapa kasus, dampak tersebut bisa sangat berat hingga korban memiliki pikiran untuk bunuh diri.

“Dan kemudian mereka mengalami masalah dalam hubungan sosial, ada lagi yang lebih extrem mereka mengalami kecanduan seks atau impulsif seksual, itu menjadi keinginan tapi dia mengalami rasa sakit yang berlebihan sehingga dia tidak dapat mengontrolnya” terang Riza, (21/5).

Riza juga menyebutkan bahwa terdapat berbagai hambatan psikologis yang membuat korban enggan melapor, antara lain rasa malu, kurangnya rasa percaya diri, serta ketakutan akan diskriminasi dari lingkungan sekitar.

“sangat penting pendampingan psikologi bagi korban Kekerasan Seksual (KS) agar menghindari masalah mental health yang lebih parah, dan kami sudah 20 Tahun lebih bersama permpuan dan anak korban KS karena bidang kami disitu,” pungkasnya.

Penulis : Imam Faisal Mobarok
Editor : Ical

admin

Recent News