pcpmiimojokerto.com

PBB-P2 Kota Mojokerto: Pajak atau Pemerasan?

Beberapa pekan terakhir, masyarakat Kota Mojokerto digegerkan dengan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang mencapai hingga 300 persen. Lonjakan ini sontak memantik keresahan warga, sebab bukan hanya memberatkan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar: apa dasar kenaikan ini, dan untuk kepentingan siapa?

Dasar Hukum
PBB-P2 adalah jenis pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kemudian diperbarui melalui UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintan Daerah (UU HKPD).

Pajak ini memang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, sesuai mandat undang-undang, penetapan tarif harus memperhatikan asas keadilan, kemampuan masyarakat, dan kondisi perekonomian daerah. Dengan kata lain, PBB-P2 tidak boleh dijadikan instrumen pemerasan yang membebani rakyat secara berlebihan. Karena dalam UU 1945 BAB XlV tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Pasal 33 disana ditegaskan kurang lebih bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, begitupun di daerah.

Kenaikan 300 Persen: Rasional atau Arogan?
Kenaikan PBB-P2 di Kota Mojokerto hingga 300 persen jelas jauh dari kata rasional. Pertama, tidak ada peningkatan pelayanan publik yang sebanding dengan lonjakan pajak tersebut. Kedua, kondisi ekonomi masyarakat masih rapuh pasca pandemi dan inflasi harga kebutuhan pokok. Ketiga, kebijakan ini dikeluarkan tanpa komunikasi publik yang transparan, sehingga rakyat merasa diperlakukan hanya sebagai “mesin pencetak uang” bagi kas daerah.

Dalam teori kebijakan publik, Thomas R. Dye menyatakan bahwa “policy is whatever governments choose to do or not to do.” Dengan menaikkan PBB-P2 secara ekstrem, pemerintah kota sesungguhnya memilih untuk membiarkan rakyatnya menanggung beban tanpa pertimbangan sosial.

Aspek Sosial: Jeritan yang Terabaikan
Di lapangan, dampaknya terasa nyata. Pemilik rumah sederhana di gang sempit, pedagang kecil di pasar tradisional, hingga buruh dengan gaji pas-pasan kini harus menghadapi surat tagihan pajak yang melonjak. Tidak sedikit warga yang mengeluh, bahkan menolak membayar karena merasa kebijakan ini tidak adil dan merasa terseok.

Seperti dikatakan filsuf Jean Paul Satre “Manusia lahir bebas, namun di mana-mana ia terbelenggu.” Rakyat Kota Mojokerto hari ini terbelenggu oleh kebijakan fiskal yang jauh dari rasa keadilan.

Ironi di Tanah Majapahit
Kota Mojokerto bukan kota sembarangan. Ia adalah tanah peradaban, bekas pusat Kerajaan Majapahit yang pernah menguasai Nusantara, dengan slogan sprit of Majapahit.Namun ironisnya, di atas tanah kejayaan itu, kini berdiri sebuah kota yang tega menekan warganya sendiri lewat pajak yang melambung tinggi. Dulu Majapahit membangun kejayaan dengan persatuan rakyatnya, kini Kota Mojokerto justru membebani rakyatnya demi angka-angka pendapatan daerah.

Penutup: Saatnya Pemerintah Mendengar
Kebijakan publik tanpa partisipasi rakyat hanyalah instruksi dari menara gading. Pemerintah Kota Mojokerto harus segera meninjau ulang kenaikan PBB-P2 ini. Pajak memang kewajiban, tetapi keadilan adalah hak rakyat yang tak bisa ditawar.

Jika pemerintah terus abai, jangan salahkan bila kepercayaan rakyat terkikis. Dan ketika kepercayaan itu hilang, legitimasi kekuasaan hanyalah bayang-bayang tanpa makna.

Kota Mojokerto harus memilih menjadi kota beradab yang membangun bersama rakyat, atau menjadi kota yang dikenang sebagai penghisap warganya sendiri melalui PBB-P2.

 

 

Penulis: Sa’dan

Editor: Admin

admin

Recent News