pcpmiimojokerto.com

Maulid Sampang: Tradisi Cinta yang Mempersatukan

Perayaan Maulid Nabi di Kabupaten Sampang, Madura, merupakan contoh nyata bagaimana sebuah peringatan keagamaan dapat berintegrasi secara mendalam dengan kearifan lokal. Tradisi ini bukan sekadar seremoni keagamaan, melainkan sebuah institusi sosial yang berfungsi memperkuat ikatan kekerabatan dan solidaritas masyarakat. Merayakan Maulid dari rumah ke rumah dan mengundang tetangga mencerminkan prinsip gotong royong dan reciprocity (timbal balik), di mana setiap keluarga berpartisipasi dalam sebuah siklus sosial yang saling menguatkan.

Dari perspektif sosiologi, tradisi ini dapat dianalisis menggunakan teori fungsionalisme. Emile Durkheim, seorang sosiolog Prancis, berpendapat bahwa ritual keagamaan seperti ini berfungsi untuk menciptakan solidaritas sosial atau conscience collective (kesadaran kolektif). Dengan berkumpul dan makan bersama, masyarakat Sampang tidak hanya merayakan kelahiran Nabi, tetapi juga meneguhkan kembali nilai-nilai kebersamaan, saling menghormati, dan kepedulian.

Acara ini menjadi momen reunifikasi sosial yang mengatasi perbedaan individu dan memperkuat identitas komunal.

Selain itu, praktik ini juga menunjukkan konsep habitus dari Pierre Bourdieu. Habitus adalah sistem disposisi (kecenderungan) yang tertanam di dalam individu melalui pengalaman sosial. Bagi masyarakat Sampang, merayakan Maulid dari rumah ke rumah adalah habitus yang telah diwariskan turun-temurun, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas mereka. Ini bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah norma sosial yang secara otomatis dijalankan untuk menjaga harmoni dan kohesi masyarakat.

Dalil dan Tinjauan Keagamaan
Meskipun perayaan Maulid Nabi sering diperdebatkan dalam ranah fikih, mayoritas ulama Nahdlatul Ulama (NU), yang merupakan representasi utama tradisi keagamaan di Madura, memandang Maulid sebagai bid’ah hasanah atau inovasi yang baik. Peringatan Maulid tidak ditemukan secara eksplisit dalam Al-Qur’an maupun hadis sahih pada zaman Nabi, namun para pendukungnya berargumen bahwa tujuannya mulia.
Dalil pendukung perayaan Maulid sering kali merujuk pada beberapa hal:

1. Kegembiraan atas Kelahiran Nabi: Perayaan ini dianggap sebagai bentuk ekspresi rasa syukur dan cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an sendiri menganjurkan umat Islam untuk bersyukur atas nikmat Allah, dan kelahiran Nabi adalah nikmat terbesar bagi umat manusia. Allah SWT berfirman: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Ad-Dhuha: 11).

2. Menghidupkan Sejarah Sirah Nabi: Maulid menjadi sarana efektif untuk mengenalkan kembali sejarah hidup (sirah) dan akhlak Nabi kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Dengan membaca barzanji atau dibaiyah yang berisi kisah-kisah Nabi, umat Islam diingatkan kembali akan teladan yang harus mereka ikuti.

3. Kiyas (Analogi): Para ulama beranalogi bahwa jika berpuasa di hari Senin untuk mensyukuri kelahiran Nabi (sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW), maka perayaan Maulid sebagai bentuk syukur kolektif juga diperbolehkan, asalkan tidak menyimpang dari syariat.

Oleh karena itu, bagi sebagian besar umat Islam, termasuk masyarakat Sampang, perayaan Maulid bukanlah sebuah kewajiban agama melainkan sebuah tradisi yang memiliki nilai-nilai keagamaan dan sosial yang kuat. Perdebatan seputar halal atau haramnya Maulid sering kali mengabaikan konteks sosiologisnya. Di Madura, Maulid telah menjadi simbol identitas yang mempersatukan, bukan memecah belah.

Secara keseluruhan, tradisi Maulid di Sampang merupakan harmoni yang indah antara ajaran Islam, yang mengedepankan cinta kepadanya Nabi, dan kearifan lokal, yang memperkuat jalinan silaturahmi. Ini adalah bukti bahwa agama dapat hidup dan beradaptasi dengan budaya, menciptakan sebuah praktik yang kaya makna dan bermanfaat bagi masyarakat.

 

 

Penulis: Imam Faisal Mobarok. Ahmad Wasiul Fikri

admin

Recent News