Kampus, dalam cita-cita awalnya, adalah ruang suci tempat mahasiswa menimba ilmu, melatih nalar kritis, serta membangun kepribadian yang matang. Ia seharusnya bukan hanya gedung-gedung beton dengan meja dan papan tulis, melainkan ekosistem yang hidup, tempat dialektika tumbuh, gagasan lahir, dan keberanian diuji. Tan Malaka pernah menegaskan bahwa tujuan pendidikan ialah mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. Namun, realitas hari ini justru melenceng jauh dari arah itu.
Kini, kampus lebih sering dilihat sebagai mesin birokrasi yang menghitung untung rugi. Mahasiswa diperlakukan layaknya pelanggan: bayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan berbagai biaya tambahan yang terus membengkak tanpa transparansi memadai. Ironisnya, fasilitas yang seharusnya mendukung proses belajar justru kerap jauh dari layak. Alih-alih menjadi rumah ilmu, kampus berubah menjadi pasar jasa pendidikan.
Lebih parah lagi, ketika ada mahasiswa berani mengkritisi kondisi ini, label “tidak tahu terima kasih” dengan mudah ditempelkan. Suara kritis dianggap gangguan, bukan bagian dari proses akademik. Bahkan, ketika mahasiswa memilih jalan aksi untuk menyuarakan keresahan masyarakat luas sebuah hak politik dan moral yang melekat pada mereka ancaman Drop Out (DO) justru jadi senjata pamungkas yang dilemparkan pihak kampus.
Saya merasakan sendiri betapa kejamnya kebijakan ini. Salah satu sahabat saya, keluarga saya di kampus, harus merasakan pahitnya di-DO hanya karena ikut aksi demonstrasi. Bagi saya itu cukup gila, menyedihkan, sekaligus memuakkan. Minimal berilah peringatan, jangan langsung mencabut hak seseorang untuk belajar. Saya sampai bertanya-tanya: kok bisa kampus merekrut civitas akademika yang labil? Kalau belum tamyiz, kalau belum matang berpikir, lebih baik diam daripada membuat kebijakan yang membunuh masa depan orang lain.
Bagi saya, DO adalah jalan paling najis yang ditempuh perguruan tinggi. Bukan saja karena ia merampas hak mahasiswa atas pendidikan, tetapi juga karena menunjukkan ketidakmampuan kampus menjawab kritik dengan nalar sehat. DO menjadi simbol ketakutan, bukan kebesaran intelektual. Kampus yang seharusnya melahirkan manusia merdeka justru melatih mahasiswa tunduk dan bungkam.
Cara pandang kampus terhadap mahasiswa pun makin sempit: mereka dilihat hanya dari kacamata ekonomi. Selama mampu membayar, dianggap baik-baik saja. Namun ketika suara kritis keluar, mahasiswa dicap tidak sopan, dan ketika turun aksi mereka dicap ancaman. Padahal, sejarah bangsa ini membuktikan, banyak perubahan lahir dari ruang kampus, dari keberanian mahasiswa melawan ketidakadilan.
Dengan realitas seperti ini rasanya sudah tidak lagi sejalan (tidak relate) dengan apa yang diamanatkan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Mengapa? Karena:
1. Tujuan Pendidikan Tinggi (Pasal 5 UU 12/2012) Seharusnya kampus mencetak manusia beriman, berilmu, kreatif, mandiri, dan berbudaya. Tapi faktanya, banyak kampus lebih fokus pada uang dan birokrasi ketimbang menciptakan ekosistem belajar yang sehat.
2. Prinsip Penyelenggaraan (Pasal 6)
Pendidikan tinggi wajib dilaksanakan dengan prinsip demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Ketika mahasiswa bersuara lalu diancam DO, itu jelas tidak demokratis dan melanggar asas keadilan.
3. Fungsi Pendidikan Tinggi (Pasal 4)
Ada tiga fungsi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Aksi mahasiswa turun ke jalan sebenarnya bagian dari fungsi “pengabdian kepada masyarakat”. Jika kampus malah menghukum itu, artinya kampus sendiri yang melanggar fungsinya.
Jadi, Keadaan kampus hari ini dalam banyak kasus sudah tidak lagi relate dengan UU Pendidikan Tinggi.
Kampus seharusnya jadi rumah ilmu, tapi justru berubah jadi “korporasi pendidikan” yang sibuk menagih uang dan membungkam kritik.
Saya hanya berharap hal ini tidak terjadi pada kalian semua. Dan jikalau dengan tulisan ini suatu saat saya dikeluarkan dari kampus, maka berhati-hatilah kawan: dunia pendidikan kita sudah tidak lagi baik-baik saja.
Oleh: Imam Faisal Mobarok (tulisan ini menurut sudut pandangnya sendiri)
Editor: Admin