pcpmiimojokerto.com

Arendt: Banalitas Kejahatan

Ngomong-ngomong mengenai “Banalitas Kejahatan”, banyak orang kerap menafsirkan banalitas kejahatan sebagai persoalan intensitas, seolah-olah pelaku terbiasa berbuat jahat sehingga kehilangan kepekaan moral. Namun, pandangan ini keliru. Menurut Hannah Arendt, banalitas kejahatan tidak terletak pada kebiasaan atau sifat “umum” dari kejahatan, melainkan pada fakta bahwa ia dilegitimasi sebagai sesuatu yang normal dalam praktik politik dan birokrasi negara. Dengan demikian, yang semula merupakan masalah moral bergeser menjadi persoalan ketaatan terhadap otoritas, perintah, ideologi, dan kekuasaan. Akibatnya, tindakan yang secara moral jahat dianggap normal karena dibungkus dengan klaim normativitas.

Arendt menegaskan bahwa banalitas kejahatan berakar dari kesalahpahaman tentang apa artinya menjadi warga negara. Tampak ada pergeseran yang jelas dari abnormalitas (cacat moral) ke normalitas kejahatan, atau dari kejahatan sebagai akibat cacat moral kepada kejahatan sebagai produk kepatuhan. Kejahatan tidak lagi dipandang sebagai kelainan moral individu, melainkan sebagai konsekuensi kepatuhan sistematis.

Ia mencontohkan kejahatan Eichmann—seorang pegawai Nazi yang mengorganisasi deportasi orang Yahudi—sebagai cerminan banalitas ini. Eichmann bukanlah pribadi fanatik atau pembenci Yahudi, melainkan seorang birokrat biasa, taat aturan, dan patuh terhadap perintah. Bahkan ia dianggap normal oleh orang-orang di sekitarnya, serta tidak memiliki kelainan psikologis. Justru karena kepatuhan inilah Eichmann melakukan kejahatan besar tanpa menyadari tindakannya sebagai kejahatan. Arendt menilai, kejahatannya bukan berasal dari niat jahat atau kebencian personal, melainkan dari ketidakmampuannya untuk berpikir dan merefleksikan konsekuensi tindakannya.

Dengan demikian, kejahatan tidak berakar pada kodrat manusia yang jahat, melainkan pada kapasitas manusia untuk taat secara buta terhadap sistem. Sama seperti kebaikan, kejahatan merupakan soal kemampuan. Inilah yang membedakan pandangan Arendt dengan pemahaman umum yang mengaitkan kejahatan dengan nafsu rendah atau kebencian pribadi. Dalam rezim totaliter, seseorang bisa menjadi bagian dari mesin kejahatan tanpa pernah menentang logika brutal yang diberlakukan.

Menurut Arendt, hal yang membuat Eichmann berbahaya bukanlah kebodohan atau hilangnya hati nurani, melainkan “ketidakberpikiran”—yaitu kegagalan berdialog dengan dirinya sendiri sehingga ia tidak mampu menilai atau mempertimbangkan tindakannya secara etis. Ketidakberpikiran ini menjadikannya seperti robot birokratis yang hanya menjalankan perintah tanpa mempertimbangkan akibatnya. Kondisi ini mencerminkan hilangnya kebebasan di bawah totalitarianisme.

Arendt kemudian menyimpulkan bahwa kejahatan tidak selalu muncul dari kebencian atau sifat jahat manusia, tetapi bisa lahir dari kemiskinan imajinasi dan kegagalan berpikir kritis. Akibatnya, individu gagal membedakan kebaikan dari keburukan atau menolak ideologi yang korup.

Banalitas kejahatan, dengan demikian, identik dengan banalitas ketidakberpikiran. Keduanya sama-sama dangkal karena lahir dari absennya aktivitas berpikir. Padahal, bagi Arendt, berpikir adalah aktivitas radikal yang memungkinkan seseorang menyelami kenyataan, menilai dengan hati-hati, serta berdialog dengan hati nuraninya untuk mengambil keputusan etis.

admin

Recent News