PC/PMIIMOJOKERTO – Ketua Umum (Ketum) Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Mojokerto, Bernando Akbar, dengan tegas menolak revisi Rancangan Undang-undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Bukan tanpa alasan penolakan engan berbagai pertimbangan yang sangat matang, hal ini dinilai lebih banyak membawa dampak negatif dalam jangka panjang, atau bahkan berisiko mengarah kembali ke era Orde Baru (Orba).
“Ketika RUU ini di revisi dan di sah kan maka akan semakin memperluas penempatan tentara aktif pada sejumlah jabatan sipil, yang memberikan peluang bagi kembalinya dwifungsi TNI dan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi,” paparnya, Selasa(3/18).
Ketum yang akrab dipanggil Bernando itu mengatakan, Demokrasi yang berfungsi dengan baik bergantung pada kendali sipil terhadap peran militer. Pasukan bersenjata tidak seharusnya terlibat dalam perumusan atau pengambilan kebijakan dalam pemerintahan.
“Jika tentara ingin masuk ke lembaga pemerintah maka harus mengundurkan diri atau sudah pensiun. Tentara bisa mengikuti seleksi terbuka jabatan publik sehingga tidak ada konflik kepentingan dan benar-benar di uji kompetensinya bersaing dengan masyarakat sipil. Dasarnya kompetensi bukan dengan bagi-bagi jabatan yang bisa merugikan,” jelas Bernando.
Kendati demikian, Bernando mengungkapkan, peningkatan keterlibatan TNI dalam sektor di luar pertahanan berisiko menimbulkan ketidakseimbangan kekuasaan. Hal ini dapat melemahkan supremasi sipil, yang merupakan pilar utama dalam sistem demokrasi.
“Keterlibatan militer dalam penegakan hukum misalnya, dapat menimbulkan konflik kewenangan dan meningkatkan risiko pelanggaran HAM,” ujarnya.
Tak hanya itu dia juga menegaskan, Revisi RUU TNI itu mencerminkan kekhawatiran mendalam akan arah demokrasi Indonesia. Di satu sisi, kebutuhan akan keamanan nasional yang kuat tidak dapat dipungkiri.
“Namun, di sisi lain, sejarah kelam dwifungsi angkatan bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu menghantui,” ungkapnya.
Bernando juga mengajak seluruh kader PMII Se-Mojokerto raya, umumnya PMII seluruh Indonesia untuk menyerukan penolakan terkait RUU TNI demi kemaslahatan dan kepentingan masyarakat banyak.
“Bayang- bayang kembalinya Orde Baru dan tantangan bagi demokrasi mulai terlihat. Jika revisi RUU TNI tidak dikaji dengan cermat, hal ini bisa mengancam demokrasi dan membuka jalan bagi dominasi militer dalam pemerintahan,” ucapnya.
Disisi lain, proses penyusunan RUU yang minim partisipasi publik menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas. Kepentingan sipil, yang seharusnya menjadi prioritas utama, terkesan diabaikan.
“Oleh karena itu, penolakan ini bukan sekadar penolakan terhadap sebuah RUU, tetapi juga penegasan komitmen terhadap demokrasi dan supremasi sipil. RUU TNI harus dilakukan secara komprehensif, dengan melibatkan partisipasi publik yang luas, dan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat,” pungkasnya.
Pernyataan itu juga selaras dengan Syahrul Bahri, Ketua Bidang Keamanan dan Wilayah Perbatasan PB PMII, yang secara tegas menolak Revisi RUU TNI yang saat ini dibahas secara tertutup oleh Komisi I DPR RI bersama pemerintah.
Menurut Syarul, Kurangnya transparansi dalam pembahasan serta substansi RUU yang berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI dalam pemerintahan sipil menjadi ancaman besar bagi demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.
“Kami menolak keras pembahasan RUU TNI yang dilakukan secara tertutup di hotel mewah jauh dari pengawasan publik, dan terkesan terburu-buru. RUU ini tidak hanya mengancam demokrasi, Tetapi juga menimbulkan jalan bagi TNI untuk kembali mengambil peran sipil yang seharusnya sudah diakhiri sejak Reformasi 1998,” pungkasnya.
Penulis : Muhammad Sa’dan
Editor : Faisal Mobarok